Senin, 03 Oktober 2011

ADAT WET TU TELU MASYARAKAT BAYAN

Adat dan Hukum Adat bagi masyarakat Bayan merupakan suatu hal yang Sakral dan Maghis tentunya mempunyai kekuatan yang sangat mengikat untuk mengatur tatanan kehidupan di Dunia maupun kehidupan akhirat, ini dijelaskan sebagian besar oleh Kiayi-kiayi adat bahwa sebelum beragama kita harus beradat karena menurut mereka beradat merupakan kata dari beradab. Selain itu juga beradat merupakan sebuah citra diri manusia baik tingkah laku maupun mencerminkan harga diri dan kehormatan dalam berinteraksi sebab ketika seseorang dibilang tidak beradat maka orang tersebut bukanlah manusia tapi hewan karena hewanlah yang tidak beradat.
Di Masyarakat Adat Bayan terdapat Lembaga-Lembaga Adat yang dimana lembaga adat ini secara turun temurun diakui dan dijalankan oleh masyarakat adat sebagai lembaga yang menjalankan sistem hukum yang tentunya berbeda dengan hukum negara. Kelembagaan masyarakat adat ini dikenal dengan istilah Lembaga adat Wet Tu Tlu. Dimana secara struktural sudah sejak lama berkembang di Masyarakat Bayan yang menjalankan pola kehidupan masyarakat yang kolektif.
Istilah wet tu tlu sendiri sudah mendapat banyak penafsiran karena Wet tu telu diidentikan sebagai Waktu telu (Tiga Waktu), sehingga dimana wet tu tlu ditafsirkan sebagai ajaran Islam yang hanya mengerjakan shalat tiga kali dalam sehari, sehingga orang menilai Agama Islam yang ada di Masyarakat Bayan harus diperbaiki sesuai dengan hukum Syareat Islam yang seharusnya.
Sebagai akibat timbulnya berbagai pemahaman tentang kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat adat ini. Dimana Persepsi orang selama ini tentang masyarakat adat wet tu tlu adalah masyarakat penganut agama Islam yang pengajarannya belum sempurna yang dilakukan oleh penyebar agama Islam pada waktu itu, kebiasaan yang dilakukan masih dekat dengan kepercayaan roh nenek moyang, Istilah wet tu tlu sebenarnya terdiri dari tiga kata yang masing-masing punya arti tersendiri yaitu Wet artinya wilayah, Tu atau tau artinya orang, dan Tlu artinya tiga. Jadi wet tu tlu bisa diartikan bahwa dalam wilayah masyarakat adat terdapat tiga orang yang sangat berpengaruh yaitu Pembekel, Amaq Lokaq Mangku/ Raden Mangku dan Kyai ( Mudim/Penghulu Adat ). Wet tu tlu pada intinya merupakan tiga hal pembagian wilayah kekuasaan atau wewenang yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Tiga hal itu harus mesti ada di tata pergaulan hidup manusia ini, yaitu adanya pemerintahan ( pembekel ), Agama ( Kyai ) dan adat ( Amaq Lokaq Mangku )
Menurut Amaq Jamali Kyai Adat Sukadana “bahwa pada dasarnya kita semua adalah Renten ( Saudara ) asal kita sama yakni Tuhan dan junjungan kita Sopo’ ( satu ). Hal inilah dijadikan dasar oleh masyarakat adat untuk mempertahankan rasa kekeluargaan dan persaudaraan dalam menjalani proses kehidupan di dunia. Dimana wet tu tlu juga memiliki makna, bahwa proses kehidupan di dunia ini ada tiga yakni: Tioq ( Tumbuh ), Menteloq ( Bertelur ) dan Menganak ( Melahirkan). Secara hakekat wet tu tlu juga memiliki makna Adanya Allah, Adam, dan Muhammad”
Kemudian Menurut Mak Lokak Tuak Turun Wet Adat Semokan “Bahwa istilah wet tu tlu merupakan bukan istilah yang tepat namun istilah yang tepat adalah wat tu tlu yang artinya adalah tiga prosesi/ kegiatan masyarakat adat dalam pola penggunaan lahan untuk bertani, yang diantarnya:
1. Membangar ( membuka ) yakni proses membuka segala kegiatan masyarakat dalam mengolah lahan pertanian. Secara umum kegiatan pertanian di Kecamatan Bayan mengandalkan musim penghujan atau tadah hujan. Membangar dimaksudkan agar jelas batas antara musim Ton ( penghujan ) dan Balit ( kemarau ) sehingga masyarakat tidak sembarangan dalam mengolah lahan pertanian, hal ini juga bertujuan untuk nawa’in montong/gumi artinya untuk memelihara gumi atau bumi.
2. Plemerin/ bukain montong ( mengolah ) artinya melakukan segala kegiatan pertanian, jika sudah dilakukan prosesi membangar maka masyarakat adat dapat membuka lahan ( montong ) atau melakukan kegiatan pertanian di lahan pertaniannya.
3. Setelah melakukan segala kegiatan pertanian maka masyarakat adat juga kembali melakukan membangar, namun membangar yang dilakukan adalah membangar pulek balit, ( mengembalikan musim kemarau ) ini artinya segala kegiatan pertanian masyarakat adat harus ditutup. Kegiatan yang demikian juga dilakukan berdasarkan ider adat.
Merujuk dari beberapa penafsiran tentang istilah wet tu tlu, baik itu dilihat dari sudut pandang Ketuhanan, sudut pandang lingkungan/alam, maupun dari sudut pandang pemerintahan yang terkait dengan konsep demokrasi yang dijalankan oleh masyarakat adat wet tu tlu. Kita dapat mengambil gambaran tentang konsep tersebut, dimana pada dasarnya masyarakat penganut wet tu tlu mengenal tiga norma dasar yakni norma agama, norma adat, dan norma hukum. Sedangkan norma kesopanan/kesusilaan merupakan hasil dari berjalannya dengan baik tiga norma dasar itu. Hal inilah yang menjadi dasar terbangunnya suatu penafsiran wet tu tlu diartikan sebagai pembagian kekuasaan kepada tiga orang yang berpengaruh dalam wilayah masyarakat adat. Dimana tiga orang yang berpengaruh ini memegang tiga norma dasar tersebut sebagai pegangan yakni Kyai memegang norma agama, Amak Lokak Mangku/ Raden Mangku memegang norma adat dan Pemebekel memegang norma hukum.
Jadi sudah jelas bahwa arti wet tu telu bukanlah Ajaran Islam yang hanya menjalankan Shalat tiga Waktu yang kemudian Hanya para Kiayilah yang melakukan Shalat dan Puasa sehingga Masyarakat Bayan terkenal sebagai Masyarakat yang Satu Agama tetapi Banyak Tuhan. Pernyataan-Pernyataan inilah yang sangat meresahkan masyarakat Bayan apalagi Munculnya sebuah buku yang berjudul Satu Agama Banyak Tuhan, Karena pada Hakekatnya masyarakat Bayan juga menjalankan Agama Islam sebagaimana yang diajarkan didalam AL’Qur’an .

Raden DEdi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Judul Berita

Mari meraih mimpi untuk menuju kesuksesan