LOMBOK UTARA – Kabupaten Lombok Utara (KLU) sebagai salah satu daerah otonomi baru yang notabene terpetakan sebagai daerah yang rawan bencana alam seperti banjir dan longsor, karena memiliki ketinggian atau kondisi tanah diatas 60 persen atau antara 35 hingga 85 persen yang termasuk kawasan terjal dan berbukit. Sehingga diperlukan kewaspadaan atau kebersamaan dalam menyatukan persepsi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Akibatnya, daerah dari barat ke timur, mulai pesisir Desa Malaka di Kecamatan Pamenang, tetangga obyek wisata Senggigi di Lombok Barat, Desa Medana di Kecamatan Tanjung, Desa Gondang di Kecamatan Gangga, Desa Selengen di Kecamatan Kayangan, dan Desa Mumbul Sari di Kecamatan Bayan, rawan longsor, banjir, serta air pasang.
Sulistiyono, Direktur Koslata NTB mengaku, gejala ini dampak dari perubahan iklim global selama 10 tahun terakhir ini di NTB sudah mulai terasa. Khususnya di KLU seringkali terjadi banjir dan longsor, seperti yang masih segar di ingatan kita kejadian longsor di awal tahun 2009 lalu, yang terjadi di Desa Bentek, Jenggala dan Gengelang dimana saat itu sungai Segara meluap, dan banjir bandang serta longsor di kawasan hutan Pandan Mas telah menelan kerugian rumah, ternak , jalan, jembatan dan irigasi rusak.
“”Disamping banjir dan longsor, ancaman bencana lainnya berupa kekeringan pada musim kemarau yang seringkali dialami wilayah Kecamatan Bayan sehingga terjadi rawan pangan. Demikian juga dengan gunung Rinjani sebagai gunung berapi yang masih aktif dapat saja meletus sewaktu-waktu”, kata Sulistiono.
Menurut Sulis, kejadian bencana yang seringkali terulang, membuat warga masyarakat korban menganggapnya sebagai hal yang lumrah. “Umumnya, warga masyarakat dan pemerintah hanya merespon setelah terjadi bencana, padahal bencana ini bisa dikurangi tingkat resikonya melalui upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan warga yang tinggal di daerah rawan bencana, serta mengurangi kerentanannya”, jelasnya.
Sulistiyono menawarkan solusi, karena mengingat kalangan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana merupakan pihak yang akan mengalami dampak langsungnya, maka upaya penanggulangannya harus berbasis masyarakat. “Artinya masyarakatlah yang menjadi aktor utama dalam melakukan identifikasi resiko bencana, penyusunan rencana serta pelaksanaan rencana tersebut”, tegasnya.